BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sastra adalah karya sastra imajinatif bermedia yang
nilai estetikanya bernilai dominan. Melalui karya sastra seorang pengarang
bermaksud menyampaikan informasi, gambaran atau pesan tertentu kepada pembaca.
Sesuatu yang disampaikan itu biasanya merupakan gagasan tentang kehidupan yang
ada di sekitar pengarang.
Novel juga sebagai salah satu bentuk karya sastra yang
dapat mengemukakan sesuatu secara bebas, menyajikan sesuatu secara lebih
banyak, melibatkan permasalahan yang lebih kompleks. Bentuk-bentuk karya sastra
itu biasanya berupa prosa, puisi dan drama, disebut sastra. Berdasarkan sejarah
perkembangan sastra di Indonesia,
prosa dikelompokkan menjadi dua, yaitu prosa lama dan prosa baru, berupa cerpen
dan novel. Semua karya sastra termasuk novel merupakan suatu totalitas yang
memiliki nilai seni. Totalitas itu dibangun oleh unsur-unsur pembangun yaitu
dari unsur intrinsik dan ekstrinsik.
Unsur intrinsik karya sastra yaitu unsur-unsur yang
berada dalam karya sastra itu sendiri dan sebagai unsur pembangun dalam tubuh
karya sastra itu. Unsur intrinsik dalam karya sastra meliputi tema, alur,
penokohan, latar, suasana, gaya
bahasa dan sudut pandang. Analisis struktural bertujuan memaparkan dengan
cermat fungsi dan keterkaitan antar berbagai unsur karya sastra yang secara
bersama menghasilkan sebuah kemenyeluruhan. Analisis struktural merupakan
hubungan antar unsur yang bersifat timbal balik, saling menentukan,
mempengaruhi yang secara bersama membentuk satu kesatuan yang utuh. Membaca
novel berupa nilai-nilai dalam hal ini adalah nilai pendidikan yang digunakan
sebagai cermin atau perbandingan dalam kehidupan.
Pada dasarnya karya sastra merupakan karya cipta yang
mengungkapkan kembali pengamatan dan pengalaman pengarang tentang peristiwa
pada kehidupan yang menarik. Peristiwa-peristiwa itu merupakan peristiwa nyata
atau mungkin hanya terjadi dalam dunia khayal pengarang. Sastra memiliki dunia
sendiri. Suatu kehidupan yang tidak harus identik dengan kenyataan hidup.
Kesusastraan pada saat ini telah mengalami
perkembangan yang pesat dan menggembirakan. Sepanjang sejarah kehidupan
manusia, sastra akan terus bergerak, tumbuh dan berkembang. Karya sastra adalah
suatu hasil cipta manusia yang berdasarkan kenyataan dan diberi imajinasi pribadi
lewat media lisan maupun tulisan.
Pada hakekatnya karya sastra mempunyai dua unsur
pembangun yaitu unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Unsur intrinsik adalah
unsur pembangun yang terdapat di dalam karya sastra itu sendiri. Unsur
ekstrinsik adalah dunia luar karya sastra yang turut melatar belakangi dan
menunjang lahirnya karya sastra.
Novel “Wanita-Wanita Matahari” karya Aisyah Qahar
menceritakan tentang tiga wanita dengan latar belakang yang berbeda bertemu di
sebuah pesantren: Lili Kandhi, Faha, dan Ganis. Mereka pun akhirnya menjalin
persahabatan yang demikian kental. Dengan penuh suka duka, mereka menjalani
sebuah kehidupan yang kadang konyol, kadang perlu keseriusan, juga kadang
sangat dramatis.
Saat diantara mereka, ada yang dihadapkan dengan problem
super ruwet, yang lainnya berusaha membantu menyelesaikannya.
Membaca novel “Wanita-Wanita Matahari” ini terlihat
jelas mengajarkan betapa tidak mudahnya menjalani kehidupan di dunia ini.
Sebagaimana Lili Kandhi dan kedua temannya hadapi.
1.2 Alasan Pemilihan Judul
Setiap orang melakukan kegiatan pasti mempunyai alasan-alasan tertentu
sesuai dengan kegiatan yang dilakukannya. Demikian juga dengan judul yang
dikemukakan dalam penulisan ini, yaitu:
- Novel Wanita-Wanita Matahari memiliki hikmah bahwa dalam menjalani kehidupan ini tidaklah mudah.
- Mengetahui unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik dalam novel Wanita-Wanita Matahari dan mengambil kandungan nilai pendidikan didalamnya.
1.3 Tujuan Penulisan
Setiap kegiatan penulisan pasti mempunyai tujuan yang akan dicapai.
Tujuan dari penulisan ini adalah:
- Untuk mendeskripsikan unsur intrinsik dan ekstrinsik yang terdapat didalam novel Wanita-Wanita Matahari karya Aisyah Qahar.
- Untuk mengetahui nilai pendidikan dalam novel Wanita-Wanita Matahari karya Aisyah Qahar.
1.4 Pembatasan Masalah
Masalah-masalah yang diidentifikasikan penulis tidak dapat dibahas semua
mengingat keterbatasan penulis. Dalam penulisan ini hanya akan dibahas sebagai
berikut:
- Analisis unsur intrinsik dan ekstrinsik dalam novel Wanita-Wanita Matahari karya Aisyah Qahar.
- Nilai pendidikan yang terdapat dalam novel Wanita-Wanita Matahari karya Aisyah Qahar.
1.5 Sistematika Penulisan
Secara rinci, laporan hasil penulisan ini dibagi menjadi 5 bab, yaitu:
·
Bab I Pendahuluan yang terdiri dari latar
belakang masalah, alasan pemilihan judul, tujuan penulisan, pembatasan masalah,
dan sistematika penulisan.
·
Bab II Landasan Teori yang meliputi pengertian
novel, dan nilai pendidikan dalam karya sastra.
· Bab III Pembahasan Masalah yang terdiri dari
analisis unsur intrinsik dan ekstrinsik novel serta sinopsis.
·
Bab IV Penutup yang terdiri dari kesimpulan.
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Pengertian Sastra
Kata sastra dapat ditemukan diberbagai aspek dan konteks yang
berbeda. Sastra merupakan istilah yang luas. Sastra dapat dipandang sebagai
suatu hasil yang dapat dinikmati. Sastra juga merupakan suatu yang erat
hubungannya dengan ciri-ciri khusus suatu bangsa atau kelompok masyarakat.
Sastra adalah ciptaan manusia kedalam bentuk sastra, baik
tulisan maupun lisan yang dapat menimbulkan rasa senang.
Dalam membaca dan memahami karya sastra kita selalu
menghadapi keadaan yang paradoksal. Pada satu pihak sastra merupakan
keseluruhan yang bulat, otonomi. Disisi lain tidak berfungsi dalam situasi
kosong.
Beberapa pendapat itu dapat disimpulkan tentang pengertian
sastra. Sastra adalah karya imajinatif bermedia bahasa yang nilai atau unsur
estetikanya dominan.
2.2 Pengertian Karya Sastra
Sesuatu yang disampaikan oleh sastrawan dalam karyanya adalah
tentang manusia dengan segala macam perilakunya. Kehidupan manusia tersebut
diungkapkan lengkap dengan nilai-nilai yang terkandung didalamnya. Oleh karena
itu, karya sastra dapat menambah kekayaan batin setiap hidup dan kehidupan ini.
Karya sastra dapat menjadikan manusia memahami dirinya dengan kemanusiaannya.
Karya sastra merupakan kehidupan buatan atau rekaan
sastrawan. Kehidupan di dalam karya sastra adalah kehidupan yang telah diwarnai
dengan sikap penulisnya, latar belakang pendidikannya, keyakinannya, dan
sebagainya.
Karya sastra merupakan wujud ungkapan perasaan pengarang.
Jika dilihat dari sifatnya, sastra merupakan karangan fiksi atau non ilmiah.
Seperti juga karangan lain, karya sastra dibuat pengarang dengan maksud untuk
mengkomunikasikan sesuatu kepada pembacanya.
Macam
karya sastra:
1. Novel
Beberapa pendapat mengenai novel dikemukakan oleh para
ahli sastra. Namun sampai saat ini belum ada patokan yang dapat diterima oleh
semua pihak.
Novel dalam arti umum berarti cerita berbentuk prosa
dalam ukuran yang luas yaitu cerita dengan plot dan tema yang kompleks,
karakter yang banyak, dan setting cerita yang beragam.
Novel merenungkan realitas yang dilihat, dirasakan
dalam bentuk tertentu dengan pengaruh tertentu atau ikatan yang dihubungkan
dengan tercapainya gerak-gerik hasrat manusia.
Novel memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
o
Menceritakan sebagian kehidupan yang luar biasa
o
Terjadinya konflik hingga menimbulkan perubahan
nasib
o
Terdapat beberapa alur atau jalan cerita
o
Terdapat beberapa insiden yang mempengaruhi
jalan cerita
o
Perwatakan atau penokohan dilukiskan secara
mendalam
Manfaat dari membaca novel adalah memberi kesadaran
kepada pembaca tentang kebenaran-kebenaran hidup ini. Selain itu dapat
memberikan kegembiraan dan kepuasan batin, memberikan penghayatan yang mendalam
terhadap apa yang kita ketahui, serta dapa menolong pembacanya menjadi manusia
yang berbudaya.
2. Cerpen
Cerpen mengalami perkembangan yang sangat pesat ketika
masa penjajahan jepang. Pada masa itu segala sesuatu dituntut serba singkat dan
cepat. Karena pengaruh suasana, maka dalam mengutarakan perasaannya pengarang
juga mengikuti keadaan. Pengarang mengutarakan segala sesuatu secara singkat
dan memilih medianya yaitu bentuk cerpen.
Cerpen singkatan dari cerita pendek. Oleh karena itu
bentuknya yang pendek, maka yang ditampilkan oleh cerpen hanyalah sebagian saja
dari kehidupan yang dialami oleh tokoh cerita.
Sebuah cerpen pada dasarnya menuntut adanya perwatakan
yang jelas. Tokoh merupakan pusat sorotan dalam cerita. Unsur penokohan dalam
cerpen terasa lebih dominan, daripada unsur yang lain. Dengan membaca cerpen
seorang pembaca akan memahami karakter tokoh cerita yang dimiliki.
Biasanya cerpen hanya akan menampilkan suatu pokok
permasalahan saja dalam cerita. Karena permasalahan yang ditampilkan hanya satu
atau permasalahannya tunggal, maka tidak memungkinkan tumbuhnya digresi dalam
cerita pendek. Cerpen yaitu kisahan yang memberi kesan tunggal yang dominan
tentang suatu tokoh dalam latar dan satu situasi dramatik.
Perbedaan antara Novel dan Cerpen
Novel:
ü
Terjadi konflik batin
ü
Perwatakan digambarkan secara detail
ü
Alur lebih rumit
ü
Latar lebih luas dan waktunya lebih lama
ü
Novel lebih panjang karangannya
ü
Unsur cerita dalam novel lebih kompleks dan
beragam dibandingkan cerpen
ü
Minimal halamannya adalah 100 hlm
ü
Jumlah kata dalam novel minimal 35.000 kata
ü
Lama untuk membaca novel kira-kira 30-90 menit
Cerpen:
ü
Tidak harus terjadi konflik batin
ü
Perwatakan digambarkan secara singkat
ü
Akhir ceritanya sederhana
ü
Latar hanya sebentar dan terbatas
ü
Lebih pendek karangannya
ü
Unsur cerita dalam cerpen relative sederhana dan
tunggal
ü
Maksimal halamannya 30 kuarto
ü
Jumlah kata dala cerpen maksimal 10.000 kata
ü
Waktu yang dibutuhkan untuk membacanya hanya 10
menit
BAB III
PEMBAHASAN MASALAH
3.1 Analisis Unsur Intrinsik Novel
3.1.1 Alur/Plot
Alur
adalah penceritaan rentetan peristiwa yang penekanannya ditumpukan kepada
sebab-akibat. Untuk merangkai peristiwa-peristiwa menjadi kesatuan yang utuh,
pengarang harus menyeleksi kejadian mana yang perlu dikaitkan serta mana yang kiranya
harus dipenggal ditengah-tengah. Hal yang demikian berguna untuk lebih
menghidupkan cerita menjadi menarik sehingga pembaca berambisi untuk terus
menekuninya.
Alur
bisa dengan jalan progresif (alur maju) yaitu dari awal, tengah, dan akhir
terjadinya peristiwa. Tahap progresif bersifat linier. Jalan regresif (alur
mundur) yaiu bertolak dari akhir cerita, menuju tahap tengah atau puncak dan
berakhir pada tahap awal. Tahap regresif bersifat non linier. Ada juga tehnik pengaluran dari progresif ke
regresif. Selain yang tersebut diatas ada juga tehnik alur yang lain yaitu
tehnik tarik balik (back tracking) yang dalam tahap tertentu peristiwa ditarik
ke belakang.
Alur
adalah sambung-sinambungnya peristiwa berdasarkan hukum sebab-akibat. Alur
tidak hanya mengemukakan apa yang terjadi, tetapi yang lebih penting ialah
menjelaskan mengapa hal itu terjadi, dengan sambung-sinambungnya peristiwa ini
terjadilah sebuah cerita. Sebuah cerita bermula dan berakhir. Antara awal dan
akhir ini lah terlaksana alur itu. Tentu sudah jelas, alur memiliki
bagian-bagian yang sederhana yang dapat dikenal sebagai permulaan, pertikaian,
dan akhir.
Struktur umum alur, dapat digambarkan sebagai berikut:
1.
paparan (exposition)
2.
rangsangan (inciting moment)
3.
gawatan (rising action)
4.
tikaian (conflict)
5.
rumitan (complication)
6.
klimaks (climax)
7.
leraian (falling action)
8.
selesaian (denouement)
Berdasarkan tehnik pengaluran, novel Wanita-Wanita
Matahari menggunakan alur maju (progresif), yaitu secara bertahap dari awal,
tengah, sampai akhir. Alur maju ini dapat terlihat dalam kutipan berikut:
“Selesai shalat Maghrib, aku mendengar kabar dari Wiwin, jika
si Gendut telah memperbolehkan kamar kami berpartisipasi dalam seleksi. Wiwin
juga mengatakan, malam nanti…” (Aisyah, 2011:141)
“Kira-kira lima
menit kemudian, Mbak Ratna muncul dan mengatakan kalau motor sudah ada di
depan. Maka, kami semua ramai-ramai menggotong Ganis…” (Aisyah, 2011:154)
3.1.2
Penokohan/Perwatakan/Karakter
Penokohan merupakan proses yang
digunakan pengarang untuk menciptakan tokoh-tokoh pelaku cerita serta sifat
atau gambaran yang berkenaan dengannya.
Tokoh yang terdapat dalam suatu
cerita memiliki peran yang berbeda-beda.
Menurut fungsinya, tokoh dibagi menjadi
3, yaitu:
·
Tokoh Sentral, yaitu tokoh yang menentukan gerak
dalam sebuah cerita.
·
Tokoh Utama, yaitu tokoh yang mendukung suatu
cerita baik tokoh protagonist, maupun antagonis.
·
Tokoh Pembantu, tokoh yang hanya berfungsi
melengkapi terjadinya suatu cerita.
Menurut perannya, tokoh dibagi menjadi
3, yaitu:
·
Tokoh Protagonis, yaitu pelaku yang memiliki
watak yang baik sehingga disenangi pembaca.
·
Tokoh Antagonis, yaitu pelaku yang tidak
disenangi pembaca karena memiliki watak yang tidak sesuai dengan apa yang
diidamkan pembaca.
·
Tokoh Tritagonis, pelaku yang membantu dalam suatu
cerita, baik tokoh protagonist maupun antagonis.
Penokohan adalah penampilan watak atau karakter para tokoh
oleh pengarang.
Penampilan watak yang dilakukan pengarang ada tiga macam
cara, yaitu:
1.
Cara Analitik, yaitu pengarang secara langsung
memaparkan watak tokoh-tokohnya. Misalnya, pengarang menyebutkan watak tokoh
yang pemarah, otoriter, sombong, kasar, dan sebagainya.
2.
Cara Dramatik, yaitu watak tokoh yang dapat disimpulkan
dari pikiran, cakapan, perilaku, bahkan penampilan fisik, lingkungan atau tempat
tokoh, cara berpakaian dan pilihan nama tokoh, dan sebagainya.
3.
Cara Campuran, yaitu gambaran watak tokoh menggunakan
cara Analitik dan Dramatik secara bergantian.
Dalam novel
“Wanita-Wanita Matahari”, cara yang digunakan pengarang untuk menampilkan watak
tokoh dalam ceritanya, menggunakan cara Analitik. Pengarang memaparkan
watak tokoh-tokohnya yang ditunjukkan pada kutipan berikut ini:
“…soal melucu, kupikir Ranilah orangnya. Selain guyonannya
yang segar, ia memiliki tampang yang lucu. Hidungnya terlalu besar, tak imbang
dengan sepasang matanya yang kecil dan bibirnya yang sempit. Ia memiliki banyak
jerawatkhususnya di daerah bawah hidungdan dagu. Suaranya cukup indah…”
(Aisyah, 2011:28)
“Dan, temanku yang lain, Ganis. Sebenarnya, aku tak begitu
bisa membaca karakternya. Dia sangat pendiam, jarang membaur dengan
teman-teman. Kalaupun ia ikut berkumpul, ia lebih suka diam…” (Aisyah, 2011:29)
“…Gara-gara Munali itu, hubunganku dengan dan Faha jadi lebih
dekat. Sungguh menyenangkan ternyata berteman dengannya. Ia perempuan
serampangan paling nakal, tapi cerdas. Bila sebelumnya aku selalu kesal ia
bertindak seenaknya padaku atau pada yang lain, maka saat ini, aku tidak lagi
merasakan itu. Segala permintaan, perbuatannya, menjadikanku selalu maklum.
Mungkin saja, ia besar di lingkungan yang tak mengajarkannya tata krama…”
(Aisyah, 2011:68)
“Perempuan itu menatapku dengan tatapan asing. Aku tak
menyukai alisnya yang mengernyit juga bibirnya yang sedikit menekuk. Aku belum
mengenalnya, ia tak berhak menatapku begitu. Punggungnya yang tegak
mempengaruhi caranya memandang ibu dan aku…” (Aisyah, 2011:18)
Berdasarkan fungsinya, tokoh dalam
novel “Wanita-wanita Matahari” menampilkan tokoh protagonist dan antagonis.
Tokoh utama yang protagonis adalah Ganis dan Faha, keduanya
memiliki kisah yang begitu sulit dibayangkan. Mereka adalah perempuan-perempuan
perkasa yang selalu terang walau dunia dalam keadaan gelap. Ganis yang
dikatakan banyak orang sebagai orang yang sombong dan angkuh, dan Faha yang
banyak dikesankan orang sebagai orang yang sangat serampangan dan tak tahu
malu, nyatanya mereka bisa dijadikan teman yang begitu baik dan akrab, bahkan
sangat dekat. Ganis dan Faha, orang yang begitu kuat terhadap kenyataan yang
tak memihak kepada mereka.
Tokoh antagonis adalah si Gendut, ia
memiliki sifat yang sangat keras, tak disukai para santri karena sikapnya yang
selalu mencari-cari masalah kepada santri lainnya. Ia memiliki nama besar
keluarganya yang menjadi senjata ampuh untuk membuat sungkan Kiai dan Nyai. Ia
memegang semua aturan dan akibat hukuman di pesantren itu. Ia memiliki banyak
kekuatan yang tak mungkin dilawan siapa pun. Dan pada sepasang matanya, juga
dua tangannya yang besar, tak siapa pun yang berani menyerangnya. Pernyataan
tersebut terdapat dalam kutipan di bawah ini:
“Ganis!” Sentak si Gendut. Ia mendatangi Ganis, menarik kerah
bajunya, dan menamparnya berkali-kali. Wiwin menjerit, Faha menyembunyikan
kepalanya ke balik bahuku, sedang aku hanya berdesis ngeri. Santri-santri dari
dalam kamar berhamburan keluar. Yang di kamar mandi juga berbondong keluar
menyaksikan keributan.
Aku memejamkan mata. Ya Tuhan, jika
hari ini begitu buruk bagi Ganis. Sekalipun aku tak begitu menyukainya, namun
melihatnya dipukuli oleh si Gendut sampai tesungkur begitu, benar-benar
membuatku tak tega. Aku melihat Ganis yang kebingungan dan berteriak kesakitan.
“Apa
salahku, apa salahku!”
“Kamu
merokok!”
Si Gendut terus saja memukulinya.
Semua orang, tak ada yang bergeming, mungkin terlampau kaget, atau memang tak
ada yang berani…”
(Aisyah,
2011:112)
3.1.3
Latar/Setting
Latar adalah tempat suatu peristiwa dalam cerita yang
bersifat fisikal biasanya berupa waktu, tempat dan ruang. Termasuk di dalam
unsure latar adalah waktu, hari, tahun, periode sejarah, dan lain-lain. Latar
cerita mencakup keterangan-keterangan mengenai keadaan sosial dan tempat dimana
peristiwa itu terjadi.
Fungsi latar selain memberi ruang gerak pada tokoh juga
berfungsi untuk menghidupkan cerita. Dalam latar ini, pengarang menampilkan
tokoh-tokoh dan peristiwa-peristiwa yang saling berkaitan untuk membangun
cerita yang utuh.
Kemunculan latar dalam cerita disebabkan adanya peristiwa,
kejadian, juga adanya tokoh. Tokoh dan peristiwa membutuhkan tempat berpijak,
membutuhkan keadaan untuk menunjukkan kehadirannya.
Latar dalam novel
“Wanita-Wanita Matahari” meliputi aspek waktu, ruang dan suasana.
1.
Waktu
Novel “Wanita-Wanita Matahari”
menggunakan istilah waktu dalam cerita seperti pagi, sore, malam, hari, minggu,
sekian bulan, dan sebagainya. Terlihat dalam kutipan berikut:
“Seperti pagi ini, ia kepergok mengantuk oleh Ustadzah Maimunah, yang
sejak kali pertama masuk kelas, raut mukanya terlihat murung…” (Aisyah,
2011:32)
“Pagi hari, kami mengaji. Begitu juga menjelang siang, sore, hingga malam
hari…” (Aisyah, 2011:35)
“Tahun-tahun
berlalu. Aku terbiasa dengan segala aktivitas yang kujalani dengan selazimnya…”
(Aisyah, 2011:340)
2.
Tempat
Tempat yang digunakan dalam
novel “Wanita-Wanita Matahari” adalah di sebuah Pesantren di daerah Malang,
dimana mengisahkan tiga wanita dengan latar belakang yang berbeda. Berawal
dari kedatangan Lili Kandhi yang memutuskan untuk sekolah di Pesantren itu.
“Tempat yang dimaksud sudah sampai. Rupanya, aku tertidur cukup lama.
Mobil kami masuk ke dalam gerbang, melewati halaman luas. Aku terjaga mengamati
keadaan. Kulihat banyak sekali anak laki-laki. Pesantren perempuan masuk ke
dalam…” (Aisyah, 2011:15)
3.
Suasana
Suasana yang tergambar dalam novel ini adalah banyaknya
ketegangan-ketegangan yang sering terjadi. Antara antara tiga sahabat ini
dengan si Gendut, antara Nyai dan pernikahan kedua Kiai, dan Ustadz Muhaimin
yang me-mahabbah-i Ganis. Namun juga
banyak keceriaan-keceriaan yang dirasakan oleh Kandhi, Ganis, dan Faha.
3.1.4
Gaya Bahasa
Bahasa dalam karya sastra mempunyai fungsi ganda. Ia
tidak hanya sebagai alat penyampaian maksud pengarang, melainkan juga sebagai
penyampai perasaan. Pengarang dalam menyampaikan tujuannya dapat menggunakan
cara-cara lain yang tidak kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Cara-cara
tersebut misalnya dengan menggunakan perbandingan-perbandingan, menghidupkan
benda-benda mati, melukiskan suatu keadaan dan menggunakan gaya bahasa yang berlebihan.
Gaya
bahasa meliputi:
Personifikasi
Perbandingan Metafora
Alegori
Perumpamaan
Majas Hiperbola
Pertentangan ironi
Litotes
Metonimia
Pertautan Alusio
Eufimisme
Sinekdok
Parsprototo Totemproparte
Dalam novel ini menggunakan gaya bahasa personifikasi,
terlihat dalam kutipan di bawah ini:
“Mendengar itu, dadaku berdesir…” (Aisyah,
2011:158)
“Kata-kata Ganis membuatku menitikkan air mata. Aku
bahkan belum pernah berpikir sejauh itu. Aku tidak memiliki kesiapan apa-apa
untuk kemungkinan buruk yang kapan saja akan datang. Ganis sama sekali tidak
salah. Sebagai orang yang sudah berpengalaman, dia mengatakan kebenaran hidup
padaku. Dia sangat dewasa, itu yang bisa kulihat darinya. Caranya bertutur
selalu membuatku tak bisa berkata apa-apa…” (Aisyah, 2011:166)
3.1.5
Amanat
Amanat adalah suatu ajaran moral atau pesan yang ingin
disampaikan pengarang. Amanat dipakai pengarang untuk menyampaikan tanggung
jawab problem yang dihadapi pengarang lewat karya sastra.
Istilah amanat berarti pesan. Amanat cerita merupakan
pesan pengarang kepada pembaca. Pesan yang hendak disampaikan mungkin tersurat,
tetapi mungkin juga tidak jelas, samar-samar atau tersirat.
Amanat yang terkandung dalam novel ini bisa dilihat
pada kutipan di bawah ini:
“Keduanya menjadi cerminan baru bagiku saat ini, bahwa
hidup tak seteratur yang kita kira. Faha benar, tak ada orang yang punya
cita-cita memiliki keluarga berkelakuan buruk. Keburukan itu tak lain adalah
ketidaksangkaan yang harus dihadapi dengan kesiapan mental…” (Aisyah, 2011:202)
Novel ini mengajarkan banyak hal akan betapa tidak mudahnya menjalani
kehidupan di dunia ini.
3.1.6
Tema
Pengarang dalam menulis ceritanya bukan sekedar mau
bercerita tetapi mau mengatakan suatu hal pada pembacanya. Sesuatu yang ingin
dikatakan itu bila suatu masalah kehidupan, pandangan hidupnya tentang
kehidupan ini atau karakter terhadap kehidupan ini. Kejadian dan perbuatan
tokoh cerita, semua didasari oleh ide dari pengarang.
Berdasarkan keterangan diatas dan dengan membaca novel
Wanita-Wanita Matahari karya Aisyah Qahar, yang mengisahkan tiga wanita dengan
latar kehidupan yang berbeda bisa menghadapi semua kesulitan hidup ini.
Adapun tema dari novel ini ialah keteguhan dan
keberanian dari tiga wanita yang menjalani kehidupan yang tidak mudah.
3.1.7
Sudut
Pandang/Point Of View
Sudut pandang ialah cara pengarang menampilkan para
pelaku dalam cerita yang dipaparkan. Sudut pandang merupakan hasil karya
seorang pengarang sehingga terdapat pertalian yang erat antara pengarang dengan
karyanya.
Sudut pandang menyarankan pada cara sebuah cerita
kisahan. Ia merupakan cara atau pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai
sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar dan berbagai peristiwa yang
membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca.
Pusat pengisahan meliputi: narrator omniscient,
narrator observer omniscient, narrator the third person omniscient.
Sudut pandang cerita itu sendiri secara garis besar
dapat dibedakan kedalam 2 macam: persona pertama, gaya
“aku”, dan persona kedua gaya
“dia”.
Pusat pengisahan adalah posisi dan penempatan diri
pengarang dalam cerita, atau darimana dia melihat peristiwa-peristiwa yang
terdapat dalam cerita itu.
Aisyah Qahar menceritakan pelaku dalam novel adalah
pengarang sebagai orang pertama dengan kata aku atau –ku untuk tokoh utama.
Dapat dilihat dalam kutipan berikut:
“Aku terharu malam ini. Pada dua orang yang
begitu kuat terhadap kenyataan yang tak memihak pada mereka. Mereka adalah
anak-anak di usiaku yang memiliki kekuatan mental dan prinsip lebih dari aku.
Mereka jauh lebih dewasa, jauh memiliki banyak pengalaman dan cobaan hidup…”
(Aisyah, 2011:203)
3.2
Analisis
Unsur Ekstrinsik
Dalam karya sastra, nilai-nilai pendidikan yang
disampaikan penciptaannya dimuat didalamnya. Hasil karya sastra, pengarang
tidak hanya ingin mengekspresikan pengalaman jiwanya saja tetapi secara
implicit juga mempunyai maksud dorongan, mempengaruhi pembaca untuk memahami,
menghayati dan menyadari masalah serta ide yang diungkapkan termasuk
nilai-nilai pendidikan yang terdapat di dalam karya sastra tersebut. Pembaca
bisa mengambil nilai-nilai pendidikan didalamnya.
Unsur Ekstrinsik novel adalah unsur yang berasal dari
luar cerita. Meliputi nilai religi, nilai susila atau nilai estetika serta
nilai sisial dan sebagainya.
Nilai-nilai kandungan yang terdapat dalam novel
“Wanita-Wanita Matahari” ini meliputi:
1. Nilai Religi/Nilai Agama
Terdapat pada kutipan di bawah ini:
Ustadzah Khomsunatin, pelajar kelas tafsir masuk.
Seluruh teman segera membaca shalawat Burdah. Setelah salam, ia meminta kami
membuka Tafsir Jalalain kami, yakni pada bagian surat ar-Rum ayat 38. minggu lalu memang kami
memaknai ayat ini, dan Ustadzah Khomsunatin berjanji akan menjelaskannya pada
pertemuan selanjutnya.
“Dalam surat ini dijelaskan
secara rinci proses turunnya hujan. Allah berfirman, Dialah Allah yang
mengirimkan angina, lalu angina itu menggerakkan awan dan Allah
membentangkannya di langit menurut yang dikehendaki-Nya, dan menjadikannya
bergumpal-gumpal; lalu kamu lihat air hujan keluar dari celah-celahnya; maka,
apabila hujan itu turun mengenai hamba-hamba-Nya yang dikehendaki-Nya,
tiba-tiba mereka menjadi gembira.” (Aisyah, 2011:131)
2. Nilai Estetika
Sastra sebagai cabang seni akan melengkapi sentuhan
estetis dengan mengembangkan aspek rasa ini demi sempurnanya aspek keindahan
dalam sastra, yang dihubungkan dengan tehnik cerita, gaya bahasa, unsur-unsur yang lain sebagai
variasinya. Nilai estetika adalah nilai kesopanan dan budi pekerti atau akhlak.
Nilai susila adalah yang berkenaan dengan tatakrama
atau beradab.
Nilai susila/estetika dalam novel ini dapat dilihat
dalam kutipan berikut:
“Kau pikir, aku suka melihatmu manja?!” suara Faha
terjeda, “kau lihat bulan itu! Bisa kau bayangkan bila malam ini bulan mati?
Semuanya gelap gulita! Kau tidak merasa, kalau kita saat ini sudah beruntung?!
Jangan manja!”
Kami bertatapan tegang. Dadaku terasa sangat sesak. Aku ingin menangis.
Matanya yang tajam menghunus membuat hatiku terbelah. Aku kesal sekali padanya.
“Ini yang ku maksud kemungkinan buruk itu, Kandhi.”
Ganis tiba-tiba mendekatiku dan memegang bahuku, “Kemungkinan buruk akan datang
kapan saja. Dan kita harus siap menghadapinya.”
Kutatap Ganis dalam keremangan malam.
“Belajarlah untuk menerima keadaan. Ini memang diluar
rencana dan dugaan. Tapi, bila sudah terjadi, apa yang bisa kita perbuat selain
memerimanya? Ini hanya soal kecil. Kau belum tahu rasanya menerima kenyataan
yang lebih pahit dalam hidup, seperti Faha, seperti aku.”
Mendengar itu, meneteslah air mataku. Ganis
menggenggam tanganku, “Faha benar, kita beruntung. Dan inilah kemudahan yang
kumaksud itu. Segalanya akan terasa mudah jika kita menganggapnya mudah.
Bukankah kau tidak sendirian? Kita bertiga, bersama mengahadapi ini semua.
Aku mengusap air mataku dan mengangguk, “Maafkan aku..”
Ganis menarik tangan kanan Faha dan menarik tangan
kananku. Ia meminta kami segera berjabat tangan. Aku melakukannya, dan segera
kupeluk Faha erat-erat. “Aku sedang belajar, tolong maklumi aku.” “Santai
saja.” Setelah itu, kami saling melempar senyum… (Aisyah, 2011:211)
3. Nilai Sosial
Dalam novel
ini terdapat interaksi sosial yang terjadi. Antara lain: suasana kebersamaan,
saling membantu, menghargai, menghormati dan menyayangi satu sama lain dalam
mengerjakan sesuatu akan menghasilkan hal positif.
Ia sudah tak marah lagi padaku. Ibu sudah benar-benar memaafkan aku. Bila
aku ingat kebodohanku sebelumnya, aku merasa sangat malu. Ibu selalu tahu mana
yang baik untukku. Dan saat ibu menangisiku malam itu, hatiku sangat perih.
Bagaimana bisa aku mengecewakan perempuan yang selama ini tak pernah tak
membahagiakan aku?
Ibu mengelus kepalaku, “Kamu pasti akan baik-baik saja
disana.”
Ku peluk ibu erat-erat. (Aisyah, 2011:15)
4. Nilai Moral
Moral merupakan tingkah laku perbuatan manusia
dipandang dari nilai baik-buruk, benar dan salah berdasarkan adat kebiasaan
dimana individu itu berada.
Nilai moral
dalam novel Wanita-Wanita Matahari, kebahagiaan itu bukan berasal dari orang
lain, tetapi datang dari diri sendiri. Kau harus bahagia. Dimanapun,
bagaimanapun.
3.3
Sinopsis
Judul
novel : Wanita-Wanita
Matahari
Jenis : Fiksi
Pengarang : Aisyah Qahar
Penerbit : DIVA Press (Anggota
IKAPI)
ISBN : 978-602-978-712-2
Tanggal
terbit : Juni 2011
Jumlah halaman :
345 hlm
Cerita yang mengisahkan tentang tiga wanita yang
berbeda latar belakang bertemu di sebuah pesantren: Lili Kandhi, Faha dan
Ganis.
Berawal dari kedatangan Kandhi yang memutuskan untuk
sekolah di sebuah pesantren karena ingin menebus rasa malu pada ibunya.
Kepergiannya ke Malang
sebenarnya adalah untuk memisahkan dirinya dari Duduta, yang tak lain adalah
kekasihnya. Namun orang tua Kandhi sangatlah tidak menyukai teman lelakinya
itu, dan selalu mengingatkan Kandhi bahwa Dudita bukanlah teman yang baik.
Puncak kekecewaan dari orang tua Kandhi adalah ketika
mengetahui Kandhi sedang berciuman dengan Dudita yang ketahuan guru di
sekolahnya. Bukan main berangnya saat itu. Ayah Kandhi memarahinya
habis-habisan, bahkan hampir saja menamparnya. Ibunya pun shock dengan
kenyataan itu, sampai-sampai ia jatuh sakit dan harus dibawa ke rumah sakit.
Dan pada saat itu, orang tua Kandhi menginginkan
dirinya agar bersekolah di sebuah pesantren. Keputusan pun akhirnya sudah
disepakati. Walaupun banyak alasan yang telah
menunda keberangkatan, tapi inilah waktunya agar Kandhi bisa secepat mungkin
tinggal di pesantren.
Di pesantren itulah Kandhi bertemu dengan Faha dan
Ganis. Awalnya, Kandhi menilai bahwa Faha adalah orang yang sangat malas,
serampangan, dan tidak rapi. Namun dengan segala kekurangan yang ada pada diri
Faha itulah yang membuat Kandhi bisa berteman baik dengannya. Lain halnya
dengan Faha, mulanya Kandhi menilai Ganis adalah orang yang sombong, keras, dan
tidak mudah ditebak. Namun ketika Ganis harus dirawat di rumah sakit, dari
sanalah hubungan Kandhi, Faha dan Ganis dimulai. Persahabatan yang tak disangka
sebelumnya.
Ganis, dengan segala kekayaan yang dimilikinya, namun
karena ketidakpedulian kedua orang tuanya ia menjadi orang yang sangat dingin
kepada siapa pun. Ibunya menikah lagi dan saat ini sedang hamil tua. Sedangkan
ayahnya, ia tak pernah tahu apa kabarnya.
Kandhi seperti mendengarkan kisah yang tak lazim.
Seperti sebuah sinetron yang dramatis. Kisah Ganis seperti cerita-cerita amatir
untuk mencari-cari sensasi. Kandhi tak pernah berpikir akan bisa sedekat itu
dengan seorang yang bernasib buruk. Hidupnya sangat teratur, dan ayah ibunya
pun baik-baik saja.
Tapi Ganis, dimatanya adalah sosok manusia yang
tangguh. Ia mampu menghadapi semua itu dengan caranya sendiri.
Sedangkan
Faha, ia berasal dari
keluarga yang tidak berkecukupan. Ibunya sibuk bekerja menjual tahu campur di
pasar dari pagi sampai sore. Sore hari mencuci, dan malam hari memasak. Sungguh
hidup yang begitu pahit. Bapaknya sibuk bermain togel dan judi. Orang-orang
bilang bahwa tebakan bapaknya kerap kali benar. Pernah suatu ketika bapaknya
membelikan Faha sepeda. Namun sepeda itu dibakar olehnya saat malam itu juga.
Pagi hari saat bapaknya bertanya kemana sepeda yang ia belikan, Faha bilang
sepeda itu telah dicuri.
Kini Kandhi tahu, bahwa orang yang dekat dengannya
saat ini, adalah manusia yang berjiwa besar. Dengan mendengarkan kisah temannya
yang begitu pelik, dan sulit untuk dibayangkan. Kisah yang sebelumnya tak
pernah terpikir sama sekali. Mereka adalah perempuan-perempuan yang sangat
perkasa. Keduanya menjadi cerminan baru baginya, bahwa hidup tak semudah dan
seteratur yang ia kira.
Selama ini, Kandhi tumbuh di keluarga yang baik, Ibu
yang baik, juga ayah yang baik. Mereka berdua sangat peduli dan sangat
mencintainya. Dan ia tercukupi, lahir maupun batin.
Malam itu, dihadapannya ada dua orang yang begitu kuat
menghadapi kenyataan yang tak memihak pada mereka. Kandhi begitu sangat
terharu, ia masih bisa bersyukur dengan apa yang dimilikinya saat ini.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Berdasarkan
hasil pembahasan terhadap landasan teori serta analisis structural novel
Wanita-wanita Matahari karya Aisyah Qahar pada bab-bab sebelumnya, maka dapat
disimpulkan sebagai berikut:
Sastra
adalah karya imajinatif bermedia bahasa yang nilai atau unsur estetikanya
dominan. Karya sastra adalah sesuatu yang disampaikan oleh sastrawan dalam
karyanya adalah manusia dengan segala macam perilakunya berupa rekaan dari
sastrawan. Memiliki 5 fungsi (fungsi rekreatif, estetis, didaktif, moralitas
dan religiusitas) yang intinya sebagai hiburan dan memberikan nilai-nilai yang
bermanfaat bagi kehidupan.
DAFTAR PUSTAKA
Qahar,
Aisyah. 2011. Wanita-wanita Matahari.
Jogjakarta:
DIVA Press
Atmazaki.
1990. Ilmu Sastra: Teori dan Sastra. Padang: Angkasa Raya