Sabtu, 27 April 2013

Analisis unsur intrinsik dan ekstrinsik dalam novel Wanita-Wanita Matahari karya Aisyah Qahar


BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Sastra adalah karya sastra imajinatif bermedia yang nilai estetikanya bernilai dominan. Melalui karya sastra seorang pengarang bermaksud menyampaikan informasi, gambaran atau pesan tertentu kepada pembaca. Sesuatu yang disampaikan itu biasanya merupakan gagasan tentang kehidupan yang ada di sekitar pengarang.
Novel juga sebagai salah satu bentuk karya sastra yang dapat mengemukakan sesuatu secara bebas, menyajikan sesuatu secara lebih banyak, melibatkan permasalahan yang lebih kompleks. Bentuk-bentuk karya sastra itu biasanya berupa prosa, puisi dan drama, disebut sastra. Berdasarkan sejarah perkembangan sastra di Indonesia, prosa dikelompokkan menjadi dua, yaitu prosa lama dan prosa baru, berupa cerpen dan novel. Semua karya sastra termasuk novel merupakan suatu totalitas yang memiliki nilai seni. Totalitas itu dibangun oleh unsur-unsur pembangun yaitu dari unsur intrinsik dan ekstrinsik.
Unsur intrinsik karya sastra yaitu unsur-unsur yang berada dalam karya sastra itu sendiri dan sebagai unsur pembangun dalam tubuh karya sastra itu. Unsur intrinsik dalam karya sastra meliputi tema, alur, penokohan, latar, suasana, gaya bahasa dan sudut pandang. Analisis struktural bertujuan memaparkan dengan cermat fungsi dan keterkaitan antar berbagai unsur karya sastra yang secara bersama menghasilkan sebuah kemenyeluruhan. Analisis struktural merupakan hubungan antar unsur yang bersifat timbal balik, saling menentukan, mempengaruhi yang secara bersama membentuk satu kesatuan yang utuh. Membaca novel berupa nilai-nilai dalam hal ini adalah nilai pendidikan yang digunakan sebagai cermin atau perbandingan dalam kehidupan.
Pada dasarnya karya sastra merupakan karya cipta yang mengungkapkan kembali pengamatan dan pengalaman pengarang tentang peristiwa pada kehidupan yang menarik. Peristiwa-peristiwa itu merupakan peristiwa nyata atau mungkin hanya terjadi dalam dunia khayal pengarang. Sastra memiliki dunia sendiri. Suatu kehidupan yang tidak harus identik dengan kenyataan hidup.
Kesusastraan pada saat ini telah mengalami perkembangan yang pesat dan menggembirakan. Sepanjang sejarah kehidupan manusia, sastra akan terus bergerak, tumbuh dan berkembang. Karya sastra adalah suatu hasil cipta manusia yang berdasarkan kenyataan dan diberi imajinasi pribadi lewat media lisan maupun tulisan.
Pada hakekatnya karya sastra mempunyai dua unsur pembangun yaitu unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Unsur intrinsik adalah unsur pembangun yang terdapat di dalam karya sastra itu sendiri. Unsur ekstrinsik adalah dunia luar karya sastra yang turut melatar belakangi dan menunjang lahirnya karya sastra.
Novel “Wanita-Wanita Matahari” karya Aisyah Qahar menceritakan tentang tiga wanita dengan latar belakang yang berbeda bertemu di sebuah pesantren: Lili Kandhi, Faha, dan Ganis. Mereka pun akhirnya menjalin persahabatan yang demikian kental. Dengan penuh suka duka, mereka menjalani sebuah kehidupan yang kadang konyol, kadang perlu keseriusan, juga kadang sangat dramatis.
Saat diantara mereka, ada yang dihadapkan dengan problem super ruwet, yang lainnya berusaha membantu menyelesaikannya.
Membaca novel “Wanita-Wanita Matahari” ini terlihat jelas mengajarkan betapa tidak mudahnya menjalani kehidupan di dunia ini. Sebagaimana Lili Kandhi dan kedua temannya hadapi.

1.2  Alasan Pemilihan Judul
Setiap orang melakukan kegiatan pasti mempunyai alasan-alasan tertentu sesuai dengan kegiatan yang dilakukannya. Demikian juga dengan judul yang dikemukakan dalam penulisan ini, yaitu:
  1. Novel Wanita-Wanita Matahari memiliki hikmah bahwa dalam menjalani kehidupan ini tidaklah mudah.
  2. Mengetahui unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik dalam novel Wanita-Wanita Matahari dan mengambil kandungan nilai pendidikan didalamnya.




1.3  Tujuan Penulisan
Setiap kegiatan penulisan pasti mempunyai tujuan yang akan dicapai. Tujuan dari penulisan ini adalah:
  1. Untuk mendeskripsikan unsur intrinsik dan ekstrinsik yang terdapat didalam novel Wanita-Wanita Matahari karya Aisyah Qahar.
  2. Untuk mengetahui nilai pendidikan dalam novel Wanita-Wanita Matahari karya Aisyah Qahar.

1.4  Pembatasan Masalah
Masalah-masalah yang diidentifikasikan penulis tidak dapat dibahas semua mengingat keterbatasan penulis. Dalam penulisan ini hanya akan dibahas sebagai berikut:
  1. Analisis unsur intrinsik dan ekstrinsik dalam novel Wanita-Wanita Matahari karya Aisyah Qahar.
  2. Nilai pendidikan yang terdapat dalam novel Wanita-Wanita Matahari karya Aisyah Qahar.

1.5  Sistematika Penulisan
Secara rinci, laporan hasil penulisan ini dibagi menjadi 5 bab, yaitu:
·        Bab I Pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, alasan pemilihan judul, tujuan penulisan, pembatasan masalah, dan sistematika penulisan.
·        Bab II Landasan Teori yang meliputi pengertian novel, dan nilai pendidikan dalam karya sastra.
·    Bab III Pembahasan Masalah yang terdiri dari analisis unsur intrinsik dan ekstrinsik novel serta sinopsis.
·        Bab IV Penutup yang terdiri dari kesimpulan.





BAB II
LANDASAN TEORI

2.1  Pengertian Sastra
Kata sastra dapat ditemukan diberbagai aspek dan konteks yang berbeda. Sastra merupakan istilah yang luas. Sastra dapat dipandang sebagai suatu hasil yang dapat dinikmati. Sastra juga merupakan suatu yang erat hubungannya dengan ciri-ciri khusus suatu bangsa atau kelompok masyarakat.
Sastra adalah ciptaan manusia kedalam bentuk sastra, baik tulisan maupun lisan yang dapat menimbulkan rasa senang.
Dalam membaca dan memahami karya sastra kita selalu menghadapi keadaan yang paradoksal. Pada satu pihak sastra merupakan keseluruhan yang bulat, otonomi. Disisi lain tidak berfungsi dalam situasi kosong.
Beberapa pendapat itu dapat disimpulkan tentang pengertian sastra. Sastra adalah karya imajinatif bermedia bahasa yang nilai atau unsur estetikanya dominan.

2.2  Pengertian Karya Sastra
Sesuatu yang disampaikan oleh sastrawan dalam karyanya adalah tentang manusia dengan segala macam perilakunya. Kehidupan manusia tersebut diungkapkan lengkap dengan nilai-nilai yang terkandung didalamnya. Oleh karena itu, karya sastra dapat menambah kekayaan batin setiap hidup dan kehidupan ini. Karya sastra dapat menjadikan manusia memahami dirinya dengan kemanusiaannya.
Karya sastra merupakan kehidupan buatan atau rekaan sastrawan. Kehidupan di dalam karya sastra adalah kehidupan yang telah diwarnai dengan sikap penulisnya, latar belakang pendidikannya, keyakinannya, dan sebagainya.
Karya sastra merupakan wujud ungkapan perasaan pengarang. Jika dilihat dari sifatnya, sastra merupakan karangan fiksi atau non ilmiah. Seperti juga karangan lain, karya sastra dibuat pengarang dengan maksud untuk mengkomunikasikan sesuatu kepada pembacanya.
Macam karya sastra:
1.      Novel
Beberapa pendapat mengenai novel dikemukakan oleh para ahli sastra. Namun sampai saat ini belum ada patokan yang dapat diterima oleh semua pihak.
Novel dalam arti umum berarti cerita berbentuk prosa dalam ukuran yang luas yaitu cerita dengan plot dan tema yang kompleks, karakter yang banyak, dan setting cerita yang beragam.
Novel merenungkan realitas yang dilihat, dirasakan dalam bentuk tertentu dengan pengaruh tertentu atau ikatan yang dihubungkan dengan tercapainya gerak-gerik hasrat manusia.

Novel memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
o       Menceritakan sebagian kehidupan yang luar biasa
o       Terjadinya konflik hingga menimbulkan perubahan nasib
o       Terdapat beberapa alur atau jalan cerita
o       Terdapat beberapa insiden yang mempengaruhi jalan cerita
o       Perwatakan atau penokohan dilukiskan secara mendalam

Manfaat dari membaca novel adalah memberi kesadaran kepada pembaca tentang kebenaran-kebenaran hidup ini. Selain itu dapat memberikan kegembiraan dan kepuasan batin, memberikan penghayatan yang mendalam terhadap apa yang kita ketahui, serta dapa menolong pembacanya menjadi manusia yang berbudaya.
2.      Cerpen
Cerpen mengalami perkembangan yang sangat pesat ketika masa penjajahan jepang. Pada masa itu segala sesuatu dituntut serba singkat dan cepat. Karena pengaruh suasana, maka dalam mengutarakan perasaannya pengarang juga mengikuti keadaan. Pengarang mengutarakan segala sesuatu secara singkat dan memilih medianya yaitu bentuk cerpen.

Cerpen singkatan dari cerita pendek. Oleh karena itu bentuknya yang pendek, maka yang ditampilkan oleh cerpen hanyalah sebagian saja dari kehidupan yang dialami oleh tokoh cerita.
Sebuah cerpen pada dasarnya menuntut adanya perwatakan yang jelas. Tokoh merupakan pusat sorotan dalam cerita. Unsur penokohan dalam cerpen terasa lebih dominan, daripada unsur yang lain. Dengan membaca cerpen seorang pembaca akan memahami karakter tokoh cerita yang dimiliki.
Biasanya cerpen hanya akan menampilkan suatu pokok permasalahan saja dalam cerita. Karena permasalahan yang ditampilkan hanya satu atau permasalahannya tunggal, maka tidak memungkinkan tumbuhnya digresi dalam cerita pendek. Cerpen yaitu kisahan yang memberi kesan tunggal yang dominan tentang suatu tokoh dalam latar dan satu situasi dramatik.

Perbedaan antara Novel dan Cerpen
Novel:
ü      Terjadi konflik batin
ü      Perwatakan digambarkan secara detail
ü      Alur lebih rumit
ü      Latar lebih luas dan waktunya lebih lama
ü      Novel lebih panjang karangannya
ü      Unsur cerita dalam novel lebih kompleks dan beragam dibandingkan cerpen
ü      Minimal halamannya adalah 100 hlm
ü      Jumlah kata dalam novel minimal 35.000 kata
ü      Lama untuk membaca novel kira-kira 30-90 menit

Cerpen:
ü      Tidak harus terjadi konflik batin
ü      Perwatakan digambarkan secara singkat
ü      Akhir ceritanya sederhana
ü      Latar hanya sebentar dan terbatas
ü      Lebih pendek karangannya
ü      Unsur cerita dalam cerpen relative sederhana dan tunggal
ü      Maksimal halamannya 30 kuarto
ü      Jumlah kata dala cerpen maksimal 10.000 kata
ü      Waktu yang dibutuhkan untuk membacanya hanya 10 menit



























BAB III
PEMBAHASAN MASALAH

3.1 Analisis Unsur Intrinsik Novel

3.1.1 Alur/Plot
               Alur adalah penceritaan rentetan peristiwa yang penekanannya ditumpukan kepada sebab-akibat. Untuk merangkai peristiwa-peristiwa menjadi kesatuan yang utuh, pengarang harus menyeleksi kejadian mana yang perlu dikaitkan serta mana yang kiranya harus dipenggal ditengah-tengah. Hal yang demikian berguna untuk lebih menghidupkan cerita menjadi menarik sehingga pembaca berambisi untuk terus menekuninya.
               Alur bisa dengan jalan progresif (alur maju) yaitu dari awal, tengah, dan akhir terjadinya peristiwa. Tahap progresif bersifat linier. Jalan regresif (alur mundur) yaiu bertolak dari akhir cerita, menuju tahap tengah atau puncak dan berakhir pada tahap awal. Tahap regresif bersifat non linier. Ada juga tehnik pengaluran dari progresif ke regresif. Selain yang tersebut diatas ada juga tehnik alur yang lain yaitu tehnik tarik balik (back tracking) yang dalam tahap tertentu peristiwa ditarik ke belakang.
               Alur adalah sambung-sinambungnya peristiwa berdasarkan hukum sebab-akibat. Alur tidak hanya mengemukakan apa yang terjadi, tetapi yang lebih penting ialah menjelaskan mengapa hal itu terjadi, dengan sambung-sinambungnya peristiwa ini terjadilah sebuah cerita. Sebuah cerita bermula dan berakhir. Antara awal dan akhir ini lah terlaksana alur itu. Tentu sudah jelas, alur memiliki bagian-bagian yang sederhana yang dapat dikenal sebagai permulaan, pertikaian, dan akhir.
Struktur umum alur, dapat digambarkan sebagai berikut:
1.      paparan (exposition)
2.      rangsangan (inciting moment)
3.      gawatan (rising action)
4.      tikaian (conflict)
5.      rumitan (complication)
6.      klimaks (climax)
7.      leraian (falling action)
8.      selesaian (denouement)
Berdasarkan tehnik pengaluran, novel Wanita-Wanita Matahari menggunakan alur maju (progresif), yaitu secara bertahap dari awal, tengah, sampai akhir. Alur maju ini dapat terlihat dalam kutipan berikut:

“Selesai shalat Maghrib, aku mendengar kabar dari Wiwin, jika si Gendut telah memperbolehkan kamar kami berpartisipasi dalam seleksi. Wiwin juga mengatakan, malam nanti…” (Aisyah, 2011:141)

“Kira-kira lima menit kemudian, Mbak Ratna muncul dan mengatakan kalau motor sudah ada di depan. Maka, kami semua ramai-ramai menggotong Ganis…” (Aisyah, 2011:154)

3.1.2 Penokohan/Perwatakan/Karakter
            Penokohan merupakan proses yang digunakan pengarang untuk menciptakan tokoh-tokoh pelaku cerita serta sifat atau gambaran yang berkenaan dengannya.
            Tokoh yang terdapat dalam suatu cerita memiliki peran yang berbeda-beda.
Menurut fungsinya, tokoh dibagi menjadi 3, yaitu:
·        Tokoh Sentral, yaitu tokoh yang menentukan gerak dalam sebuah cerita.
·        Tokoh Utama, yaitu tokoh yang mendukung suatu cerita baik tokoh protagonist, maupun antagonis.
·        Tokoh Pembantu, tokoh yang hanya berfungsi melengkapi terjadinya suatu cerita.
Menurut perannya, tokoh dibagi menjadi 3, yaitu:
·        Tokoh Protagonis, yaitu pelaku yang memiliki watak yang baik sehingga disenangi pembaca.
·        Tokoh Antagonis, yaitu pelaku yang tidak disenangi pembaca karena memiliki watak yang tidak sesuai dengan apa yang diidamkan pembaca.
·        Tokoh Tritagonis, pelaku yang membantu dalam suatu cerita, baik tokoh protagonist maupun antagonis.
Penokohan adalah penampilan watak atau karakter para tokoh oleh pengarang.
Penampilan watak yang dilakukan pengarang ada tiga macam cara, yaitu:
1.      Cara Analitik, yaitu pengarang secara langsung memaparkan watak tokoh-tokohnya. Misalnya, pengarang menyebutkan watak tokoh yang pemarah, otoriter, sombong, kasar, dan sebagainya.
2.      Cara Dramatik, yaitu watak tokoh yang dapat disimpulkan dari pikiran, cakapan, perilaku, bahkan penampilan fisik, lingkungan atau tempat tokoh, cara berpakaian dan pilihan nama tokoh, dan sebagainya.
3.      Cara Campuran, yaitu gambaran watak tokoh menggunakan cara Analitik dan Dramatik secara bergantian.
Dalam novel “Wanita-Wanita Matahari”, cara yang digunakan pengarang untuk menampilkan watak tokoh dalam ceritanya, menggunakan cara Analitik. Pengarang memaparkan watak tokoh-tokohnya yang ditunjukkan pada kutipan berikut ini:
“…soal melucu, kupikir Ranilah orangnya. Selain guyonannya yang segar, ia memiliki tampang yang lucu. Hidungnya terlalu besar, tak imbang dengan sepasang matanya yang kecil dan bibirnya yang sempit. Ia memiliki banyak jerawatkhususnya di daerah bawah hidungdan dagu. Suaranya cukup indah…” (Aisyah, 2011:28)
“Dan, temanku yang lain, Ganis. Sebenarnya, aku tak begitu bisa membaca karakternya. Dia sangat pendiam, jarang membaur dengan teman-teman. Kalaupun ia ikut berkumpul, ia lebih suka diam…” (Aisyah, 2011:29)
“…Gara-gara Munali itu, hubunganku dengan dan Faha jadi lebih dekat. Sungguh menyenangkan ternyata berteman dengannya. Ia perempuan serampangan paling nakal, tapi cerdas. Bila sebelumnya aku selalu kesal ia bertindak seenaknya padaku atau pada yang lain, maka saat ini, aku tidak lagi merasakan itu. Segala permintaan, perbuatannya, menjadikanku selalu maklum. Mungkin saja, ia besar di lingkungan yang tak mengajarkannya tata krama…” (Aisyah, 2011:68)
“Perempuan itu menatapku dengan tatapan asing. Aku tak menyukai alisnya yang mengernyit juga bibirnya yang sedikit menekuk. Aku belum mengenalnya, ia tak berhak menatapku begitu. Punggungnya yang tegak mempengaruhi caranya memandang ibu dan aku…” (Aisyah, 2011:18)
                  Berdasarkan fungsinya, tokoh dalam novel “Wanita-wanita Matahari” menampilkan tokoh protagonist dan antagonis.
Tokoh utama yang protagonis adalah Ganis dan Faha, keduanya memiliki kisah yang begitu sulit dibayangkan. Mereka adalah perempuan-perempuan perkasa yang selalu terang walau dunia dalam keadaan gelap. Ganis yang dikatakan banyak orang sebagai orang yang sombong dan angkuh, dan Faha yang banyak dikesankan orang sebagai orang yang sangat serampangan dan tak tahu malu, nyatanya mereka bisa dijadikan teman yang begitu baik dan akrab, bahkan sangat dekat. Ganis dan Faha, orang yang begitu kuat terhadap kenyataan yang tak memihak kepada mereka.
                  Tokoh antagonis adalah si Gendut, ia memiliki sifat yang sangat keras, tak disukai para santri karena sikapnya yang selalu mencari-cari masalah kepada santri lainnya. Ia memiliki nama besar keluarganya yang menjadi senjata ampuh untuk membuat sungkan Kiai dan Nyai. Ia memegang semua aturan dan akibat hukuman di pesantren itu. Ia memiliki banyak kekuatan yang tak mungkin dilawan siapa pun. Dan pada sepasang matanya, juga dua tangannya yang besar, tak siapa pun yang berani menyerangnya. Pernyataan tersebut terdapat dalam kutipan di bawah ini:
“Ganis!” Sentak si Gendut. Ia mendatangi Ganis, menarik kerah bajunya, dan menamparnya berkali-kali. Wiwin menjerit, Faha menyembunyikan kepalanya ke balik bahuku, sedang aku hanya berdesis ngeri. Santri-santri dari dalam kamar berhamburan keluar. Yang di kamar mandi juga berbondong keluar menyaksikan keributan.
                  Aku memejamkan mata. Ya Tuhan, jika hari ini begitu buruk bagi Ganis. Sekalipun aku tak begitu menyukainya, namun melihatnya dipukuli oleh si Gendut sampai tesungkur begitu, benar-benar membuatku tak tega. Aku melihat Ganis yang kebingungan dan berteriak kesakitan.
                        “Apa salahku, apa salahku!”
                        “Kamu merokok!”
               Si Gendut terus saja memukulinya. Semua orang, tak ada yang bergeming, mungkin terlampau kaget, atau memang tak ada yang berani…”
(Aisyah, 2011:112)

3.1.3        Latar/Setting
Latar adalah tempat suatu peristiwa dalam cerita yang bersifat fisikal biasanya berupa waktu, tempat dan ruang. Termasuk di dalam unsure latar adalah waktu, hari, tahun, periode sejarah, dan lain-lain. Latar cerita mencakup keterangan-keterangan mengenai keadaan sosial dan tempat dimana peristiwa itu terjadi.
Fungsi latar selain memberi ruang gerak pada tokoh juga berfungsi untuk menghidupkan cerita. Dalam latar ini, pengarang menampilkan tokoh-tokoh dan peristiwa-peristiwa yang saling berkaitan untuk membangun cerita yang utuh.
Kemunculan latar dalam cerita disebabkan adanya peristiwa, kejadian, juga adanya tokoh. Tokoh dan peristiwa membutuhkan tempat berpijak, membutuhkan keadaan untuk menunjukkan kehadirannya.
Latar dalam novel “Wanita-Wanita Matahari” meliputi aspek waktu, ruang dan suasana.

1.      Waktu
Novel “Wanita-Wanita Matahari” menggunakan istilah waktu dalam cerita seperti pagi, sore, malam, hari, minggu, sekian bulan, dan sebagainya. Terlihat dalam kutipan berikut:

“Seperti pagi ini, ia kepergok mengantuk oleh Ustadzah Maimunah, yang sejak kali pertama masuk kelas, raut mukanya terlihat murung…” (Aisyah, 2011:32)

“Pagi hari, kami mengaji. Begitu juga menjelang siang, sore, hingga malam hari…” (Aisyah, 2011:35)

“Tahun-tahun berlalu. Aku terbiasa dengan segala aktivitas yang kujalani dengan selazimnya…” (Aisyah, 2011:340)

2.      Tempat
Tempat yang digunakan dalam novel “Wanita-Wanita Matahari” adalah di sebuah Pesantren di daerah Malang, dimana mengisahkan tiga wanita dengan latar belakang yang berbeda. Berawal dari kedatangan Lili Kandhi yang memutuskan untuk sekolah di Pesantren itu.
“Tempat yang dimaksud sudah sampai. Rupanya, aku tertidur cukup lama. Mobil kami masuk ke dalam gerbang, melewati halaman luas. Aku terjaga mengamati keadaan. Kulihat banyak sekali anak laki-laki. Pesantren perempuan masuk ke dalam…” (Aisyah, 2011:15)

3.      Suasana
Suasana yang tergambar dalam novel ini adalah banyaknya ketegangan-ketegangan yang sering terjadi. Antara antara tiga sahabat ini dengan si Gendut, antara Nyai dan pernikahan kedua Kiai, dan Ustadz Muhaimin yang me-mahabbah-i Ganis. Namun juga banyak keceriaan-keceriaan yang dirasakan oleh Kandhi, Ganis, dan Faha.

3.1.4        Gaya Bahasa
Bahasa dalam karya sastra mempunyai fungsi ganda. Ia tidak hanya sebagai alat penyampaian maksud pengarang, melainkan juga sebagai penyampai perasaan. Pengarang dalam menyampaikan tujuannya dapat menggunakan cara-cara lain yang tidak kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Cara-cara tersebut misalnya dengan menggunakan perbandingan-perbandingan, menghidupkan benda-benda mati, melukiskan suatu keadaan dan menggunakan gaya bahasa yang berlebihan.
Gaya bahasa meliputi:
Personifikasi
Perbandingan Metafora
Alegori
Perumpamaan
Majas Hiperbola
Pertentangan ironi
Litotes
Metonimia
Pertautan Alusio
Eufimisme
Sinekdok
Parsprototo Totemproparte
      Dalam novel ini menggunakan gaya bahasa personifikasi, terlihat dalam kutipan di bawah ini:

            “Mendengar itu, dadaku berdesir…” (Aisyah, 2011:158)

“Kata-kata Ganis membuatku menitikkan air mata. Aku bahkan belum pernah berpikir sejauh itu. Aku tidak memiliki kesiapan apa-apa untuk kemungkinan buruk yang kapan saja akan datang. Ganis sama sekali tidak salah. Sebagai orang yang sudah berpengalaman, dia mengatakan kebenaran hidup padaku. Dia sangat dewasa, itu yang bisa kulihat darinya. Caranya bertutur selalu membuatku tak bisa berkata apa-apa…” (Aisyah, 2011:166)

3.1.5        Amanat
Amanat adalah suatu ajaran moral atau pesan yang ingin disampaikan pengarang. Amanat dipakai pengarang untuk menyampaikan tanggung jawab problem yang dihadapi pengarang lewat karya sastra.
Istilah amanat berarti pesan. Amanat cerita merupakan pesan pengarang kepada pembaca. Pesan yang hendak disampaikan mungkin tersurat, tetapi mungkin juga tidak jelas, samar-samar atau tersirat.
Amanat yang terkandung dalam novel ini bisa dilihat pada kutipan di bawah ini:

“Keduanya menjadi cerminan baru bagiku saat ini, bahwa hidup tak seteratur yang kita kira. Faha benar, tak ada orang yang punya cita-cita memiliki keluarga berkelakuan buruk. Keburukan itu tak lain adalah ketidaksangkaan yang harus dihadapi dengan kesiapan mental…” (Aisyah, 2011:202)
Novel ini mengajarkan banyak hal akan betapa tidak mudahnya menjalani kehidupan di dunia ini.

3.1.6        Tema
Pengarang dalam menulis ceritanya bukan sekedar mau bercerita tetapi mau mengatakan suatu hal pada pembacanya. Sesuatu yang ingin dikatakan itu bila suatu masalah kehidupan, pandangan hidupnya tentang kehidupan ini atau karakter terhadap kehidupan ini. Kejadian dan perbuatan tokoh cerita, semua didasari oleh ide dari pengarang.
Berdasarkan keterangan diatas dan dengan membaca novel Wanita-Wanita Matahari karya Aisyah Qahar, yang mengisahkan tiga wanita dengan latar kehidupan yang berbeda bisa menghadapi semua kesulitan hidup ini.
Adapun tema dari novel ini ialah keteguhan dan keberanian dari tiga wanita yang menjalani kehidupan yang tidak mudah.

3.1.7        Sudut Pandang/Point Of View
Sudut pandang ialah cara pengarang menampilkan para pelaku dalam cerita yang dipaparkan. Sudut pandang merupakan hasil karya seorang pengarang sehingga terdapat pertalian yang erat antara pengarang dengan karyanya.
Sudut pandang menyarankan pada cara sebuah cerita kisahan. Ia merupakan cara atau pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca.
Pusat pengisahan meliputi: narrator omniscient, narrator observer omniscient, narrator the third person omniscient.
Sudut pandang cerita itu sendiri secara garis besar dapat dibedakan kedalam 2 macam: persona pertama, gaya “aku”, dan persona kedua gaya “dia”.
Pusat pengisahan adalah posisi dan penempatan diri pengarang dalam cerita, atau darimana dia melihat peristiwa-peristiwa yang terdapat dalam cerita itu.
Aisyah Qahar menceritakan pelaku dalam novel adalah pengarang sebagai orang pertama dengan kata aku atau –ku untuk tokoh utama.
Dapat dilihat dalam kutipan berikut:
      “Aku terharu malam ini. Pada dua orang yang begitu kuat terhadap kenyataan yang tak memihak pada mereka. Mereka adalah anak-anak di usiaku yang memiliki kekuatan mental dan prinsip lebih dari aku. Mereka jauh lebih dewasa, jauh memiliki banyak pengalaman dan cobaan hidup…” (Aisyah, 2011:203)

3.2        Analisis Unsur Ekstrinsik
Dalam karya sastra, nilai-nilai pendidikan yang disampaikan penciptaannya dimuat didalamnya. Hasil karya sastra, pengarang tidak hanya ingin mengekspresikan pengalaman jiwanya saja tetapi secara implicit juga mempunyai maksud dorongan, mempengaruhi pembaca untuk memahami, menghayati dan menyadari masalah serta ide yang diungkapkan termasuk nilai-nilai pendidikan yang terdapat di dalam karya sastra tersebut. Pembaca bisa mengambil nilai-nilai pendidikan didalamnya.
Unsur Ekstrinsik novel adalah unsur yang berasal dari luar cerita. Meliputi nilai religi, nilai susila atau nilai estetika serta nilai sisial dan sebagainya.

Nilai-nilai kandungan yang terdapat dalam novel “Wanita-Wanita Matahari” ini meliputi:
1.      Nilai Religi/Nilai Agama
Terdapat pada kutipan di bawah ini:
Ustadzah Khomsunatin, pelajar kelas tafsir masuk. Seluruh teman segera membaca shalawat Burdah. Setelah salam, ia meminta kami membuka Tafsir Jalalain kami, yakni pada bagian surat ar-Rum ayat 38. minggu lalu memang kami memaknai ayat ini, dan Ustadzah Khomsunatin berjanji akan menjelaskannya pada pertemuan selanjutnya.
“Dalam surat ini dijelaskan secara rinci proses turunnya hujan. Allah berfirman, Dialah Allah yang mengirimkan angina, lalu angina itu menggerakkan awan dan Allah membentangkannya di langit menurut yang dikehendaki-Nya, dan menjadikannya bergumpal-gumpal; lalu kamu lihat air hujan keluar dari celah-celahnya; maka, apabila hujan itu turun mengenai hamba-hamba-Nya yang dikehendaki-Nya, tiba-tiba mereka menjadi gembira.” (Aisyah, 2011:131)

2.      Nilai Estetika
Sastra sebagai cabang seni akan melengkapi sentuhan estetis dengan mengembangkan aspek rasa ini demi sempurnanya aspek keindahan dalam sastra, yang dihubungkan dengan tehnik cerita, gaya bahasa, unsur-unsur yang lain sebagai variasinya. Nilai estetika adalah nilai kesopanan dan budi pekerti atau akhlak.
Nilai susila adalah yang berkenaan dengan tatakrama atau beradab.
Nilai susila/estetika dalam novel ini dapat dilihat dalam kutipan berikut:
“Kau pikir, aku suka melihatmu manja?!” suara Faha terjeda, “kau lihat bulan itu! Bisa kau bayangkan bila malam ini bulan mati? Semuanya gelap gulita! Kau tidak merasa, kalau kita saat ini sudah beruntung?! Jangan manja!”
Kami bertatapan tegang. Dadaku terasa sangat sesak. Aku ingin menangis. Matanya yang tajam menghunus membuat hatiku terbelah. Aku kesal sekali padanya.
“Ini yang ku maksud kemungkinan buruk itu, Kandhi.” Ganis tiba-tiba mendekatiku dan memegang bahuku, “Kemungkinan buruk akan datang kapan saja. Dan kita harus siap menghadapinya.”
Kutatap Ganis dalam keremangan malam.
“Belajarlah untuk menerima keadaan. Ini memang diluar rencana dan dugaan. Tapi, bila sudah terjadi, apa yang bisa kita perbuat selain memerimanya? Ini hanya soal kecil. Kau belum tahu rasanya menerima kenyataan yang lebih pahit dalam hidup, seperti Faha, seperti aku.”
Mendengar itu, meneteslah air mataku. Ganis menggenggam tanganku, “Faha benar, kita beruntung. Dan inilah kemudahan yang kumaksud itu. Segalanya akan terasa mudah jika kita menganggapnya mudah. Bukankah kau tidak sendirian? Kita bertiga, bersama mengahadapi ini semua.
Aku mengusap air mataku dan mengangguk, “Maafkan aku..”
Ganis menarik tangan kanan Faha dan menarik tangan kananku. Ia meminta kami segera berjabat tangan. Aku melakukannya, dan segera kupeluk Faha erat-erat. “Aku sedang belajar, tolong maklumi aku.” “Santai saja.” Setelah itu, kami saling melempar senyum… (Aisyah, 2011:211)

3.      Nilai Sosial
Dalam novel ini terdapat interaksi sosial yang terjadi. Antara lain: suasana kebersamaan, saling membantu, menghargai, menghormati dan menyayangi satu sama lain dalam mengerjakan sesuatu akan menghasilkan hal positif.
Ia sudah tak marah lagi padaku. Ibu sudah benar-benar memaafkan aku. Bila aku ingat kebodohanku sebelumnya, aku merasa sangat malu. Ibu selalu tahu mana yang baik untukku. Dan saat ibu menangisiku malam itu, hatiku sangat perih. Bagaimana bisa aku mengecewakan perempuan yang selama ini tak pernah tak membahagiakan aku?
Ibu mengelus kepalaku, “Kamu pasti akan baik-baik saja disana.”
Ku peluk ibu erat-erat. (Aisyah, 2011:15)


4.      Nilai Moral
Moral merupakan tingkah laku perbuatan manusia dipandang dari nilai baik-buruk, benar dan salah berdasarkan adat kebiasaan dimana individu itu berada.
Nilai moral dalam novel Wanita-Wanita Matahari, kebahagiaan itu bukan berasal dari orang lain, tetapi datang dari diri sendiri. Kau harus bahagia. Dimanapun, bagaimanapun.

3.3        Sinopsis

Judul novel                : Wanita-Wanita Matahari
Jenis                          : Fiksi
Pengarang                 : Aisyah Qahar
Penerbit                     : DIVA Press (Anggota IKAPI)
ISBN                        : 978-602-978-712-2
Tanggal terbit             : Juni 2011
Jumlah halaman          : 345 hlm

Cerita yang mengisahkan tentang tiga wanita yang berbeda latar belakang bertemu di sebuah pesantren: Lili Kandhi, Faha dan Ganis.
Berawal dari kedatangan Kandhi yang memutuskan untuk sekolah di sebuah pesantren karena ingin menebus rasa malu pada ibunya. Kepergiannya ke Malang sebenarnya adalah untuk memisahkan dirinya dari Duduta, yang tak lain adalah kekasihnya. Namun orang tua Kandhi sangatlah tidak menyukai teman lelakinya itu, dan selalu mengingatkan Kandhi bahwa Dudita bukanlah teman yang baik.
Puncak kekecewaan dari orang tua Kandhi adalah ketika mengetahui Kandhi sedang berciuman dengan Dudita yang ketahuan guru di sekolahnya. Bukan main berangnya saat itu. Ayah Kandhi memarahinya habis-habisan, bahkan hampir saja menamparnya. Ibunya pun shock dengan kenyataan itu, sampai-sampai ia jatuh sakit dan harus dibawa ke rumah sakit.
Dan pada saat itu, orang tua Kandhi menginginkan dirinya agar bersekolah di sebuah pesantren. Keputusan pun akhirnya sudah disepakati. Walaupun banyak alasan yang  telah menunda keberangkatan, tapi inilah waktunya agar Kandhi bisa secepat mungkin tinggal di pesantren.
Di pesantren itulah Kandhi bertemu dengan Faha dan Ganis. Awalnya, Kandhi menilai bahwa Faha adalah orang yang sangat malas, serampangan, dan tidak rapi. Namun dengan segala kekurangan yang ada pada diri Faha itulah yang membuat Kandhi bisa berteman baik dengannya. Lain halnya dengan Faha, mulanya Kandhi menilai Ganis adalah orang yang sombong, keras, dan tidak mudah ditebak. Namun ketika Ganis harus dirawat di rumah sakit, dari sanalah hubungan Kandhi, Faha dan Ganis dimulai. Persahabatan yang tak disangka sebelumnya.
Ganis, dengan segala kekayaan yang dimilikinya, namun karena ketidakpedulian kedua orang tuanya ia menjadi orang yang sangat dingin kepada siapa pun. Ibunya menikah lagi dan saat ini sedang hamil tua. Sedangkan ayahnya, ia tak pernah tahu apa kabarnya.
Kandhi seperti mendengarkan kisah yang tak lazim. Seperti sebuah sinetron yang dramatis. Kisah Ganis seperti cerita-cerita amatir untuk mencari-cari sensasi. Kandhi tak pernah berpikir akan bisa sedekat itu dengan seorang yang bernasib buruk. Hidupnya sangat teratur, dan ayah ibunya pun baik-baik saja.
Tapi Ganis, dimatanya adalah sosok manusia yang tangguh. Ia mampu menghadapi semua itu dengan caranya sendiri.
Sedangkan Faha, ia berasal dari keluarga yang tidak berkecukupan. Ibunya sibuk bekerja menjual tahu campur di pasar dari pagi sampai sore. Sore hari mencuci, dan malam hari memasak. Sungguh hidup yang begitu pahit. Bapaknya sibuk bermain togel dan judi. Orang-orang bilang bahwa tebakan bapaknya kerap kali benar. Pernah suatu ketika bapaknya membelikan Faha sepeda. Namun sepeda itu dibakar olehnya saat malam itu juga. Pagi hari saat bapaknya bertanya kemana sepeda yang ia belikan, Faha bilang sepeda itu telah dicuri.
Kini Kandhi tahu, bahwa orang yang dekat dengannya saat ini, adalah manusia yang berjiwa besar. Dengan mendengarkan kisah temannya yang begitu pelik, dan sulit untuk dibayangkan. Kisah yang sebelumnya tak pernah terpikir sama sekali. Mereka adalah perempuan-perempuan yang sangat perkasa. Keduanya menjadi cerminan baru baginya, bahwa hidup tak semudah dan seteratur yang ia kira.
Selama ini, Kandhi tumbuh di keluarga yang baik, Ibu yang baik, juga ayah yang baik. Mereka berdua sangat peduli dan sangat mencintainya. Dan ia tercukupi, lahir maupun batin.
Malam itu, dihadapannya ada dua orang yang begitu kuat menghadapi kenyataan yang tak memihak pada mereka. Kandhi begitu sangat terharu, ia masih bisa bersyukur dengan apa yang dimilikinya saat ini.



















BAB IV
PENUTUP

4.1  Kesimpulan

Berdasarkan hasil pembahasan terhadap landasan teori serta analisis structural novel Wanita-wanita Matahari karya Aisyah Qahar pada bab-bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

Sastra adalah karya imajinatif bermedia bahasa yang nilai atau unsur estetikanya dominan. Karya sastra adalah sesuatu yang disampaikan oleh sastrawan dalam karyanya adalah manusia dengan segala macam perilakunya berupa rekaan dari sastrawan. Memiliki 5 fungsi (fungsi rekreatif, estetis, didaktif, moralitas dan religiusitas) yang intinya sebagai hiburan dan memberikan nilai-nilai yang bermanfaat bagi kehidupan.
















DAFTAR PUSTAKA


Qahar, Aisyah. 2011. Wanita-wanita Matahari. Jogjakarta: DIVA Press

Atmazaki. 1990. Ilmu Sastra: Teori dan Sastra. Padang: Angkasa Raya







Selamat Datang di Dunia Quantum Teaching!

Bayangkanlah sejenak tempat Anda mengajar... Kelas, ruang kuliah, ruang olah raga... tempat murid-murid Anda belajar. Dengarkan dengungan para siswa yang tertarik dan memperhatikan Anda. perhatikan tangan teracung dengan antusias, tubuh-tubuh condong ke depan penuh rasa ingin tahu, dan gemuruh suka-ria perayaan. Rasakanlah keriangan berbagi wawasan dan kehangatan saling tukar perkataan yang menyemangati. Tataplah mata siswa-siswa Anda. Rasakan pengaruh yang Anda miliki dalam kehidupan mereka.

 Gambaran diatas mungkin sesuai dengan kelas Anda sekarang. Atau, mungkin, gambaran tersebut hanyalah sebentuk impian. Quantum Teaching menunjukkan cara untuk menjadi guru yang lebih baik. Quantum Teaching menguraikan cara-cara baru yang memudahkan proses belajar Anda lewat pemaduan unsur seni dan pencapaian-pencapaian yang terarah, apapun mata pelajaran yang Anda ajarkan.

Proses belajar/mengajar adalah fenomena yang kompleks. Segala ssuatunya, berarti setap kata, pikiran, tindakan, dan asosiasi, dan sampai sejauh mana Anda mengubah lingkungan, presentasi, dan rancangan pengajaran, sejauh itu pula proses belajar berlangsung (Lozanov, 1978).

Quantum Teaching mencakup petunjuk spesifik untuk menciptakan lingkungan belajar yang efektif, merancang kurikulum, menyampaikan isi, dan memudahkan proses belajar.

  • ASAS UTAMA
Quantum Teaching bersandar pada konsep: "Bawalah Dunia Mereka ke Dunia Kita, dan Antarkan Dunia Kita ke Dunia Mereka" . 
Begini maksudnya, konsep tersebut mengingatkan kita pentingnya memasuki dunia murid sebagai langkah pertama. Untuk mendapatkan hak mengajar, pertama-tama kita harus membangun jembatan autentik memasuki kehidupan murid. Sertifikat mengajar atau dokumen yang mengizinkan kita mengajar hanya berarti bahwa kita memiliki wewenang untuk mengajar. Hal ini tidak berarti bahwa kita mempunyai hak unuk mengajar. Mengajar adalah hak yang harus diraih, dan diberikan oleh siswa, bukan oleh Departemen Pendidikan. Belajar dari segala definisinya adalah kegiatan full contact. Dengan kata lain, belajar melibatkan semua aspek kepribadian manusia (pikiran, perasaan, dan bahasa tubuh) di samping pengetahuan, sikap dan keyakinan sebelumnya serta persepsi masa mendatang. Dengan demikian, karena belajar berurusan dengan orang secara keseluruhan, hak untuk memudahkan belajar tersebut harus diberikan oleh pelajar dan diraih oleh guru.

Jadi, masuki dulu dunia mereka. Mengapa? Karena tindakan ini akan memberi kita izin untuk memimpin, menuntun, dan memudahkan perjalanan mereka menuju kesadaran dan ilmu pengetahuan yang lebih luas. Bagaimana caranya? Dengan mengaitkan apa yang kita ajarkan dengan sebuah peristiwa, pikiran, atau perasaan yang diperoleh dari kehidupan rumah, sosial, musik, seni, rekreasi, atau akademis mereka. Setelah kaitan itu terbentuk, kita dapat membawa mereka ke dalam dunia kita, dan memberi mereka pemahaman kita mengenai isi dunia itu.